Kita hidup di era tanpa Messi dan Ronaldo. Tanpa dua raja sepak bola itu, siapa yang berani merebut takhta kosong, menjadikannya mahkota kejayaan, dan menunjukkan pada dunia keagungan sang terpilih?
Saya memikirkan Vitinha. Saya melihat Vitinha. Dan jawabannya cuma satu: Vitinha.
Vítor Machado Ferreira, anak asli Aves, seorang seniman dengan otak tajam dan kaki lincah sehalus beludru, alat penggerak berpikir dan pengambil keputusan di lapangan.
Baca juga: Satu Suara Dukung Dembele Ballon d’Or 2025
Datanglah lawan dari Jerman, satu tim penuh kekuatan. Vitinha menyambut mereka dengan senyuman menakutkan, menggoda sekaligus penuh tantangan. Ia memancing dan mengelabui, menjebak lalu menggelar karpet hijau yang telah ia kuasai seperti tak ada yang lain.
Satu pemain Jerman tumbang, lalu dua, dan akhirnya satu tim. Mereka bermain kaku, seperti dari zaman purba, sementara Vitinha menciptakan cahaya dan pelangi, kemenangan kecerdasan, harmoni dalam nada, dan keunggulan dalam setiap detail terkecil.
Juara Eropa di Munich. Di kota yang sama, Vitinha jadi pusat permainan Timnas Portugal. Sebuah bukti tak terbantahkan atas kehebatannya dan kedewasaan sebagai pesepak bola.
Putusan akhir: Vitinha adalah pemain terbaik dunia.
Dari dominasi Messi dan Ronaldo ke era baru ini, pergeseran alami dalam panggung sepak bola. Memang ada banyak nama lain, bakat berlimpah di mana-mana. Tapi Vitinha? Ia memegang peran utama.
Saya tak tahu apa yang paling memukau, keberaniannya melawan pemain bertubuh besar atau kejujurannya di lapangan dan luar lapangan.
Ia menunjukkan jalan, menghadirkan kejelasan. Tanpa tato berlebihan, tanpa aksesori mencolok. Hanya mata yang tajam, seragam tim, lambang di dada, sepatu bola, dan si kulit bundar.
Dalam penampilan terbaik Portugal di era Roberto Martínez, kita melihat Diogo Costa tampil luar biasa, Nuno Mendes mengingatkan pada Roberto Carlos di masa keemasannya, dan Chico Conceição tampil liar tak terbendung.
Namun, di atas semuanya, seolah putra dari dewa sepak bola yang lebih tinggi—hadirlah putra dari Vítor Manuel.
Masih ingat Vítor Manuel? DNA-nya membantu menjelaskan siapa Vitinha. Sang ayah adalah gelandang berkelas yang pernah bermain di Aves, Belém, Campo Maior, dan Faro, dengan hampir 200 pertandingan di liga utama Portugal (187 pertandingan).
Namun bukan hanya soal sepak bola. Ini juga soal pendidikan. Saat kami mencoba menghubungi Vítor Manuel untuk meminta komentar tentang putranya, atau sekadar kenangan masa kecil, reaksinya selalu sama: penuh emosi dan terdiam, hanya mampu berkata, “Maaf, saya tidak bisa,” karena begitu bangganya sebagai seorang ayah.
Biarkan mereka menikmati masa ini. Biarkan mereka merasakan kenikmatan bermain bola, mengatur ritme permainan bagi orkestra sepak bola Roberto Martínez dan Luis Enrique.
Ini adalah waktunya Vitinha. Ini adalah masa putra dari Vítor Manuel.
Catatan tambahan: Pelajaran besar dari kemenangan Portugal atas Jerman memberikan dua hal penting untuk Roberto Martínez. Pertama, ia layak diberi lebih banyak waktu dan tetap menjadi pelatih tim nasional hingga Piala Dunia 2026. Kedua, keyakinan bahwa Portugal memiliki kualitas untuk menjadi juara dunia—dengan catatan, mereka harus bermain dengan ambisi dan rasa superioritas, bukan dengan rasa takut.
Jika pilihan pemain dilakukan dengan adil dan bijak, jalan menuju kejayaan tak harus melalui jalur berliku penuh jebakan. Percayalah pada pelatih asal Spanyol itu. Percayalah pada Vitinha dan rekan-rekannya.
Opini: Jurnalis Pedro Jorge da Cunha