Cristiano Ronaldo.
Musim transfer musim panas 2023 menjadi saksi bisu gebrakan fantastis dari klub-klub sepak bola Arab Saudi. Dengan gelontoran dana yang tak terbayangkan, mereka berhasil memboyong nama-nama besar seperti Cristiano Ronaldo ke Al-Nassr FC, Neymar ke Al-Hilal SFC, dan Karim Benzema ke Al-Ittihad FC.
Langkah ini bukan sekadar sensasi sesaat, melainkan bagian dari visi jangka panjang Arab Saudi, “Vision 2030,” untuk mendiversifikasi ekonomi pasca-minyak, dengan menjadikan olahraga dan pariwisata sebagai pilar utama.
Pertanyaannya, apakah Liga Pro Saudi (SPL) benar-benar di jalur menjadi kiblat sepak bola dunia?
Dalam kacamata ekonomi sistem dunia, sepak bola global selama ini didominasi oleh “inti” yang terdiri dari lima liga top Eropa: Liga Primer Inggris, La Liga Spanyol, Serie A Italia, Bundesliga Jerman, dan Ligue 1 Prancis.
Baca juga: Transfer Skriniar, Pemain Ingin Bertahan di Fenerbahce
Mereka menghasilkan kompetisi berkualitas tinggi, memiliki skuad termahal, dan menjadi panggung bagi para superstar. Liga-liga lain berfungsi sebagai “penghasil” talenta yang kemudian dijual ke liga-liga inti dengan keuntungan besar.
Sementara itu, benua Afrika dan Amerika Selatan seringkali menjadi “pinggiran,” tempat pembibitan bakat mentah yang siap dieksplorasi. Namun, kucuran dana yang fantastis dari SPL berpotensi mengganggu tatanan ini.
Data Google Trends menunjukkan adanya peningkatan minat publik yang masif terhadap SPL di berbagai negara, terutama setelah kedatangan para superstar. Meksiko, Prancis, Brasil, dan India menunjukkan peningkatan volume pencarian yang luar biasa, mencapai puluhan hingga ribuan persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Meskipun angka pertumbuhan yang tinggi ini juga mencerminkan rendahnya tingkat perhatian awal terhadap SPL di banyak negara, jelas bahwa kehadiran bintang-bintang telah memicu rasa ingin tahu awal yang signifikan. Di negara-negara seperti Maroko, Mesir, dan Afrika Selatan yang sudah memiliki minat awal, level perhatian ini bahkan meningkat 9 hingga 10 kali lipat.
Jika dibandingkan dengan lima liga top Eropa, perhatian publik terhadap SPL saat ini setara dengan liga-liga yang lebih kecil di antara “lima besar,” seperti Bundesliga Jerman, Serie A Italia, atau Ligue 1 Prancis. SPL telah mengukuhkan posisi kuat di negara-negara Afrika Utara dan Arab, serta menunjukkan potensi besar di pasar berkembang seperti Brasil dan India.
Fenomena ini memunculkan tiga skenario masa depan: apakah ini hanya “sensasi sesaat” seperti Liga Super Tiongkok, ataukah SPL akan menjadi “raksasa kedua” yang bersaing ketat dengan Liga Primer Inggris, bahkan mungkin menggeser dominasi liga-liga Eropa lainnya?
Skenario ketiga yang menarik adalah “fragmentasi berdasarkan garis budaya.” Media Barat seringkali mengkritik investasi Arab Saudi sebagai “sportswashing,” sementara media dari negara-negara selatan global cenderung lebih positif. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi sepak bola bisa terpolarisasi berdasarkan nilai dan budaya.
Saat ini, SPL tampaknya berpotensi menjadi “titik jangkar” bagi penggemar di negara-negara selatan global, namun kurang begitu di Eropa. Bagaimana arah SPL selanjutnya akan sangat bergantung pada kemampuannya menarik penonton, membangun loyalitas penggemar, dan menghasilkan pendapatan jangka panjang.
Donnarumma telah mengizinkan agennya untuk menjajaki kemungkinan pindah ke Premier League
Fenerbahçe telah mengajukan tawaran €15 juta untuk Asensio, yang baru saja tampil impresif dengan 8…
Jika PSG berhasil mencapai final Piala Dunia Antarklub pada 13 Juli mendatang, itu berarti mereka…
Saluran ini akan didistribusikan secara multi-platform, meskipun Canal+ menolak untuk melanjutkan diskusi.
Selama masa peminjamannya, ia mencetak delapan gol dan memberikan satu assist dalam 21 pertandingan di…
Pernyataan Donnarumma tentang masa depannya setelah PSG menjuarai Liga Champions baru-baru ini juga disebut-sebut telah…